Kehati-hatian dalam melangkah dalam segala tindakan adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan. Saat memilih pasangan, mengkhitbah, ketika melangsungkan pernikahan, hingga setelah pernikahan itu sendiri, mengkoreksi niat harus selalu menjadi prioritas utama kita.
DI sebuah sudut mesjid, di keheningan sepertiga malam terakhir, terdengar seorang lelaki bermunajat kepada tuhannya. Dalam untaian doanya terdengar lirih sebuah kalimat indah, "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan hidup dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin
bagi orang-orang yang bertaqwa".
Kalimat di atas tentu popular di telinga kita. Bahkan, mungkin hampir setiap Muslim selalu menyertakan untaian kalimat tersebut dalam setiap doanya. Bahkan, doa ini pun sering dipanjatkan Rasulullah saw. Ia adalah nukilan Alquran surat Al Furqan ayat 74.
Bila kita merenung, sudah tak terhitung berapa kali doa tersebut diucapkan para kekasih Allah. Tak terhitung pula berapa kali Allah mengabulkan doa tersebut bagi yang memohonnya. Lewat doa tersebut, Allah memberikan jalan bagi manusia agar bisa mendapatkan pasangan hidup yang shalih dan anak-anak yang bisa menjadi hiasan mata. Mendapatkan keduanya merupakan harapan semua orang, tidak terkecuali seorang lajang yang sedang mencari pendamping, ataupun orang yang telah berkeluarga.
Masalahnya sekarang, bagaimana caranya agar kita mampu merealisasikan harapan tersebut dalam kehidupan? Tidak mudah memang. Perlu perjuangan dan kesabaran sepenuh hati untuk meraihnya karena ada tahapan-tahapan yang harus kita lewati. Tentu, niat adalah tangga awal untuk meraihnya.
Mengapa niat? Niat adalah landasan awal sebuah perbuatan. Ia merupakan aktifitas batin yang unik sehingga selalu menuntut perhatian dan perlakuan istimewa. Secara lebih luas, niat adalah tergeraknya hati menuju sebuah keadaan yang dianggap sebagai tujuan, baik berupa perolehan manfaat atau pencegahan mudharat.
Al-Imam Yahya bin Syarifuddin An-Nawawi dalam kitab Syarah Hadits Arba'in mengartikan niat sebagai kehendak seseorang kepada perbuatan dalam rangka mencari ridha Allah dan melaksanakan hukum-Nya.
Dari definisi di atas, kita bisa melihat betapa pentingnya niat. Keridhaan dan kemurkaan Allah akan sangat dipengaruhi oleh sejauh mana kita bisa menempatkan niat tersebut dalam tempat yang benar. Begitu pula dengan sebuah pernikahan, ia bisa menjadi amal shalih apabila niatnya lurus untuk mendapatkan ridha Allah, dan bisa menjadi dosa apabila niatnya karena nafsu atau harta. Karenanya, Rasulullah saw mengingatkan kita tentang hal ini, "Dan setiap orang hanya akan memperoleh berdasarkan niatnya," (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits lain, Rasulullah saw juga menyampaikan, "Manusia dibangkitkan kembali kelak sesuai dengan niat-niatnya. " (HR Muslim).
Dalam kaitannya dengan pernikahan, ada dua model dasar dari niat ini, yaitu niat seseorang yang akan menikah dan niat seseorang yang sudah menikah (berkeluarga).
Bagi golongan pertama, niat yang mendorongnya untuk menikah biasanya relatif "sederhana", sehingga mudah untuk diluruskan, selain lebih terpelihara dari hal-hal yang bisa merusak kesucian niat.
Untuk golongan kedua, niat mereka setelah pernikahan lebih bersifat fluktuatif. Dalam arti, adanya proses naik-turun dari keinginan-keinginan yang timbul berkaitan dengan keberlangsungan pernikahannya. Ada yang ingin terus memelihara niat awal dengan tetap setia pada pasangan. Ada pula yang bertambah niatnya dengan ingin menikah lagi. Kecenderungan kedua ini bisa dilakukan dengan cara yang hasanah (baik) maupun dengan cara menzhalimi pasangan sebelumnya.
Kasus menzhalimi pasangan bagi yang sudah menikah timbul karena tidak adanya pengendalian diri yang baik, dan kurangnya pemahaman akan urgensi niat. Walaupun pada awal pernikahan niatnya sudah lurus, tapi karena lemahnya pemahaman dan buruknya pengendalian diri, niat tersebut kemudian melenceng jauh. Kegagalan dalam pernikahan pun bisa disebabkan pula karena tidak lurusnya niat ketika hendak menikah.
Oleh karena itu, ada beberapa hal yang harus selalu kita perhatikan berkaitan dengan masalah niat ini. Pertama, kita harus memahami posisi dan kondisi niat dalam tiga tahapan, yaitu ketika niat itu muncul (di awal waktu), pada waktu proses berjalannya niat (pertengahan), dan ketika niat sudah tertunaikan (di akhir).
Demikian pentingnya unsur niat ini, sehingga setan akan selalu masuk melalui pintu niat. Ia akan berusaha merusak, mengacaukan, dan menjadikan niat kita jatuh ke posisi paling buruk, dalam bentuk riya. Rasulullah saw. menegaskan kenyataan ini, "Jika dia pergi berusaha untuk membela anak yatim yang masih kecil-kecil, maka dia berada di jalan Allah.
Jika dia pergi berusaha untuk membela kedua orangtuanya yang sudah lanjut usia, maka dia berada di jalan Allah.
Jika dia pergi berusaha untuk membela dirinya agar tetap hidup, maka dia berada di jalan Allah.
Jika dia pergi berusaha karena riya dan kesombongan, maka dia berada di jalan setan." (HR. Thabrani).
Kehati-hatian dalam melangkah dalam segala tindakan adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan. Saat memilih pasangan, mengkhitbah, ketika melangsungkan pernikahan, hingga setelah pernikahan itu sendiri, mengkoreksi niat harus selalu menjadi prioritas utama kita.
Hal kedua, setelah memahami posisi dan kondisi niat adalah menghadirkan doa dalam setiap tahapan niat; mulai dari awal, pertengahan, hingga akhir. Arti penting menghadirkan doa adalah untuk mengantipasi hadirnya sifat sombong dan penyakit hati lainnya yang bisa mengotori kesucian niat kita.
Doa adalah ungkapan kepasrahan hati dan jalan terbaik meraih pertolongan Allah.
"Maka, mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras dan setan pun menampakkan kepada mereka sebagai indah (sesuatu yang indah) apa yang selalu mereka kerjakan." (QS. Al-An'am [6] : 43). Semoga Allah senantiasa membimbing niat-niat kita, aamiin. Wallahua'lam.
Ustadz M. Imam Al Abror
0 Comments
Mari komentar dan berdiskusi...