Tulisan ini diambil di grup facebook dengan link: http://bit.ly/mhsidnvsjpn
Pada saat mahasiswa naik ke tahun ke 4, atau B4 dibaca bi-yon (Bachelor 4) mahasiswa _science and Engineering_ masuk lab. Mereka memilih Lab yang bertebaran di Universitas sesuai bidang ilmu yang diminati. Setiap Lab dipimpin oleh 1 professor dibantu associated maupun assistance professor.
Mereka masuk pada awal semester 7 bulan Maret.
Ketika sudah masuk, di hari pertama mereka _diberi judul_ riset yang berkaitan dengan penelitian yang sedang dikerjakan di Lab itu. Jadi tidak ditunggu mahasiswa mencari judul dan penuh kesadaran datang pada professor. Tidak. Tapi diberi judul oleh professor.
Setelah itu mereka kerja selama setahun dengan melaporkan progress mereka secara periodik kepada professor baik secara individual (konsultasi) maupun presentasi di depan semua anggota Lab.
Presentasi dilakukan seminggu sekali secara sederhana, tanpa PowerPoint, cukup selembar kertas yang berisi progress penelitian mereka. Tetapi tidak setiap mahasiswa harus presentasi per minggu. Kalau tidak salah mereka wajib presentasi dalam setahun itu sekitar 10-12 kali saja.
Setahun kemudian, ketika dirasa sudah siap dan melewati bimbingan yang cukup intensif dengan supervisor dan supervisor menyatakan bahwa ybs sudah selesai dalam tugasnya, mereka melakukan latihan presentasi akhir secara intens. Karena presentasi akhir nanti waktunya sangat terbatas.
Presentasi akhir dilakukan di Universitas secara bersamaan di hadapan semua professor dari semua Lab yang berkaitan. Setiap mahasiswa B4 diberi waktu 7 menit presentasi dan 3 menit tanggapan dari audience. Tanggapan ini biasanya berupa saran agar riset ke depan lebih baik, tanpa bermaksud menguji Karena mereka percaya rekan sejawat di Lab lain telah melakukan tugasnya dengan baik.
Sarjana baru telah lulus
Point yang bisa diambil:
1. Mahasiswa S1 itu "diberi judul" bukan ditunggu kesadaran.
2. Proses yang berkesinambungan mulai dari pemberian judul sampai dengan presentasi akhir.
3. Ujian bukan ladang pembantaian yang mengerikan bagi mahasiswa tetapi sebagai ladang diskusi untuk riset ke depan.
Catatan:
Ini terjadi di Perguruan tinggi teknologi. Kalau sosial humaniora tidak tahu.
Komentar Ibu Wahidah Mahanani:
Beda di jepang, beda di Indonesia.
Kalau
di sana tidak hanya sekedar percaya bahwa anggota lab sudah melakukan
tugasnya dengan baik, tapi percaya juga bahwa sang mahasiswa serius
betul mengerjakan risetnya, belajar betul, betul2 membaca jurnal dengan akses yg besar, dan memang rajin.
Sepertinya
dosen di sini "membantai" berakar dari ketidakyakinan bahwa mahasiswa
betul2 membaca jurnal, betul2 membaca buku, atau jurnal, atau sumber
saintifik lain, dst.
Pengalaman pribadi, mahasiswa
saya beri jurnal sebagai bahan bacaan untuk didiskusikan di pertemuan
berikutnya, tak sampai 20% yg betul2 menelaah jurnal tsb.
Meski tentu tak semuanya "pemalas", tapi dari sononya memang beda di sini beda di sana.
Tentu di sini semua pihak perlu memperbaiki diri, ya dosennya, ya mahasiswa.
Perubahan atau intervensinya tidak bisa ujug2 di ujung alias di hilir. Tapi harus dari hulu, dari metode belajar ketika kanak2.
Lalu
apakah sama sekali tidak ada yg bisa kita kerjakan di tingkat
universitas. Ada, tapi targetnya tak perlu muluk2 harus sama persis
dengan di Jepang.
Kalau yg sudah saya lakukan di kelas
adalah membentuk kelompok2 diskusi untuk membahas upaya menyelesaikan
persoalan pangan (kami jurusan teknologi pangan), berusaha menumbuhkan
kebiasaan bergaul dengan jurnal dengan setiap matakuliah di beberapa
pertemuan membahas jurnal, dan berusaha agar kelas bisa menarik dan
memantik kekritisan dengan berbagai pertanyaan yg bisa didiskusikan di
kelas.
Kalau terpaksanya pas presentasi atau ujian
harus "membantai", ahh.. saya tak suka istilah ini, ada konotasi buruk
berlatar kebencian di dalamnya, mahasiswa tetap diberitahu cara atau
alternatif menyelesaikan masalah di risetnya.
Coba kamu cari ini, coba kamu gunakan metode ini, dst, lalu mari sama2 kita lihat hasilnya.
Komentar dari Pak Jecko:
Terutama utk S2
dan S3 indikatornya sederhana, utk S2 syarat di Jepang harus mengikuti 2
conference international. Kalau S3, 3 conference, dan 2 jurnal
international terindex, bisa web of science atau scopus. Kalau paper
mahasiswanya sudah tembus di sebuah
jurnal yang kredibel, misalnya di jurnal scopus Q1, itu artinya
mbimbingnya berhasil. Banyak kasus di lab. saya, bahkan anak master pun
jurnalnya masuk jurnal Q1, dan selama master bisa tembus 4 jurnal
internasional. Dan di Jepang semua biaya riset, conference dan publkasi
dibiayai kampus. Makanya mahasiswa akan berlomba-lomba utk riset, dan
buat paper conference dan daftar ke sana-sini, karena itu artinya
jalan-jalan ke luar kota atau luar negeri gratis. Kalau di Indonesia
menerapkan seperti itu, pasti maju.
 |
https://marketeers.com/investasi-di-bidang-riset-dukung-pertumbuhan-ekonomi/ |
0 Comments
Posting Komentar
Mari komentar dan berdiskusi...