Metafisika dalam Perkuliahan S3 : Motivasi Menjadi Doktor

Disalin dari Postingan Facebook Tuanku Mahkota Riau


Kurang lebih metafisika ini adalah perkara-perkara yang ghoib. Tapi, bukan ghoib-ghoib yang berkaitan dengan makhuk alam lain, melainkan untuk perkara-perkara yang terkadang terjadi diluar nalar akal sehat manusia. Paling tidak itu yang aku pahami tentang metafisika. Hampir semua orang pernah mengalami kejadian-kejadian seperti ini, hanya saja mungkin tidak semua orang pula bisa mengungkapkan dengan tulisan.
Di zaman yang katanya Era 4.0 ini, hal-hal yang berbau ghoib sudah bukan menjadi topik pembicaraan hangat. Sekarang, manusia lebih suka berbicara perkara-perkara yang kongkrit yang wujud oleh panca indra. Tetapi, karena perkara-perkara ghoib tetap terus terjadi dan akhirnya menjadi penambah cerita yang hangat dalam berbagai diskusi, khususnya ketika sedang berjuang menyelesaikan pendidikan. Oleh sebab itu, dalam tulisan ini saya gunakan kata metafisika, biar sedikit ilmiah.
Dalam beberapa tulisan saya tentang studi S3, saya selalu menulis kesulitan-kesulitan dalam menempuh S3 di luar negeri. Beberapa rekan dosen berkomentar, bahwa tidak seseram itu juga kalau menempuh S3. Memang benar apa yang dikatakan rekan-rekan dosen tersebut, dalam menempuh S3, tidak semuanya diisi oleh air mata, ada juga senyum dan geleng-geleng kepala. Bukan geleng-geleng kepala karena sakau, tapi geleng-geleng kepala karena tidak percaya dengan apa yang kita hadapi.
Pernah suatu ketika, setelah sekitar beberapa bulan kami menetap di Malaysia, kami betul-betul kehabisan uang. Baik ringgit maupun rupiah. Uang kami habis karena harus membayar uang sewa rumah beserta deposit sewa rumah. Jadi rata-rata sewa rumah di Malaysia menggunakan deposit satu bulan sewa rumah. Kami juga membeli mobil untuk transportasi, membeli perlengkapan primer rumah dan lain-lain. Tunggu dulu, beli mobil? Ya, kami memutuskan untuk membeli mobil. Tapi jangan bayangkan mobilnya mobil baru dan mewah seperti yang dipamerkan para Youtuber, kami hanya membeli sebuah mobil kecil keluaran tahun 1998. Mobil kancil kalau orang Malaysia menyebutnya. Kalau di Indonesia pernah dikeluarkan oleh Daihatsu dengan nama mobil Ceria. Harga mobil itu sekitar 4.000 ringgit atau sekitar 12 juta rupiah.
Mengapa kami membeli mobil? Sebab kami memang memerlukan kendaraan untuk mobilitas, seperti mengantar anak sekolah, mengantar istri ke kampus dan untuk transport saya ke kampus. Di kampus tempat saya belajar, transportasi umum tidak selengkap di Kuala Lumpur, jadi memiliki kendaraan memang sesuatu yang wajib. Untuk memenuhi keperluan itu semua, sebelum kami pindah ke Malaysia, saya sudah sempat menjual mobil yang saya miliki di tanah air, tetapi hingga waktu keberangkatan, mobil saya tidak ada yang membeli, terpaksa gadai BPKB. Uang hasil gadai BPKB mobil tersebutlah kami jadikan modal untuk S3.
Kembali ke atas, di tengah kebingungan kehabisan uang tersebut, iseng-iseng saya pergi ke ATM untuk melihat saldo. Kemudian saya terkejut, ternyata di saldo rekening saya ada uang sebesar 200 ringgit. Langsung saya ambil semua. Sesampainya di rumah, saya ceritakan sama istri, “Dalam ATM kita ada uang 200 ringgit”. Istri pun bertanya, “Uang dari mana?”. Entahlah. Kami sama-sama geleng-geleng kepala. Belakangan kami tahu, bahwa uang itu adalah honor partisipasi kami mengikuti sebuah survei di Malaysia. Surveinya sendiri sudah lama berlalu, dan kamipun sudah lupa dengan survei tersebut dan sudah tidak terlalu berharap dengan honornya. Sebab, tunggu punya tunggu honornya tidak masuk-masuk. Setelah kami kehabisan uang, baru honornya masuk. Kami cuma geleng-geleng kepala. Ada banyak kejadian seperti ini yang selama saya pendidikan S3 di Malaysia.
Cerita lain pula, ketika kami akan pindah rumah ke kota. Sebelumnya kami tinggal dekat kampus cabang, jaraknya sekitar 80 km dari kota dan kampus utama. Seminggu sebelum pindah tersebut, kami pun berusaha mencari rumah sewa di kota, dan susahnya setengah hidup. Akhirnya kami ketemu sebuah rumah dan sudah sepakat harga dan janji akan masuk dalam beberapa hari. Alih-alih, tuan rumah membatalkan secara sepihak. Akibat pembatalan tersebut, seharian istri saya mengomel tak tentu arah. Untuk menenangkan, saya hanya bilang, “Sudahlah, mana tahu ada rumah yang lebih bagus yang bisa kita sewa”. Jelang sehari, akhirnya kami mendapatkan sebuah rumah sewa. Tuan rumah bilang sama saya,”Saya utamakan rumah ni disewa oleh orang-orang yang sangat memerlukan, macam Encik ni lah, suami istri sedang belajar jauh-jauh”. Kami dapatkan rumah itu dengan harga sewa yang murah dan tuan rumah yang baik hati, selain itu rumah tersebut masuk dalam komplek rumah keluarga besar tuan rumah, jadi tergolong aman. Kami suami istri kembali geleng-geleng kepala.
Pada banyak tempat kami berbelanja, kami selalu di tanya berasal dari mana. Walaupun saya dan istri adalah orang melayu dan sehari-hari menggunakan logat dan bahasa melayu, terdapat beberapa kata dan intonasi kalimat yang kami ucapkan yang membuat warga tempatan selalu bertanya, “awak asal mana?”, “Kat sini buat apa?” dan pertanyaan-pertanyaan serupa lainnya. Biasanya kami menjawab, “Kami dari Riau, Indonesia”, “kami tengah sambung belajar” dan lain-lain. Mengetahui kami dari Riau dan sedang sambung belajar, membuat mereka bermurah hati. Tidak jarang mereka melebihkan belanjaan kami. “Ini saya jual, yang ini saya bagi. Ikhlas”, katanya sambil memberikan 2 kantong asoy (kresek). Juga terjadi di beberapa kedai makan, setiap kali kami beli lauk di sana, mereka selalu memberikan lauk yang lebih banyak dan harga yang lebih murah dibanding dengan pelanggan lainnya.
Lengkapnya seperti ini. Ada sebuah kedai makan, jualan masakan kampung yang menjadi langganan kami. Kami biasanya menyebut kedai itu kedai kak Siti. Kami biasanya hanya membeli lauk di kedai makan itu, yaitu gulai daging satu porsi, daging goreng kunyit satu porsi dan sayur satu porsi. Setiap porsinya adalah RM2 atau sekitar Rp7000. Jadi, jika ditotal, kami biasanya belanja sebanyak RM6 untuk lauk dan sayur itu, hingga untuk makan malam. Suatu ketika, saat antri menunggu dilayani, ada pembeli lain yang juga membeli daging gulai yang sama seperti yang biasa kami beli. Kemudian, ketika pembeli itu menanyakan berapa harga gulai daging yang ia beli, kak Siti itu bilang “3 ya” atau tiga ringgit. Saat itulah saya sadar, bahwa kak Siti itu selama ini memberi “diskon” untuk kami yang belanja di situ. Untuk meyakinkan hipotesa itu, kami pernah membeli lauk yang di luar kebiasaan kami beli, dan membeli lauk yang satu porsinya seharga RM4 sd RM5. Ketika membayar, saya tidak menanya harga, langsung saya kasi uang sebesar RM20. Kemudian menunggu uang kembalian. Tepat seperti yang saya duga, kakak itu tetap mengenakan harga RM2 untuk satu porsi lauk. Perlakuan itu tidak berubah hingga akhirnya ketika kami akan pulang ke Indonesia. Untuk kenang-kenangan sebelum pulang ke Indonesia, kami sempatkan makan di sana dan berfoto.
 
 
Kisah yang hampir sama juga terjadi pada sebuah kedai makan langganan kami. Kami selalu memanggilnya dengan sebutan makcik. Makcik ini dagangan utamanya adalah gulai kambing. Harga satu potong daging kambing adalah RM6 atau sekitar Rp20.000,-. Biasanya kami membeli satu potong daging kambing untuk kami makan empat beranak. Awal-awal membeli di kedai itu, berlaku normal, tetapi setelah kenal dan saling bercerita, makcik tersebut selalu memberikan potongan daging kambing yang lebih banyak. Tentu saja kami merasa gembira, sebab biasanya satu potong di bagi empat, tetapi belakangan terkadang di kasi tiga potong dengan harga yang tetap RM6, walaupun potongan dagingnya tidak sebesar seharga RM6. Entah karena kelepasan atau apa, suatu hari makcik itu ngomong, “Biar semua dapat rasa”. Ya, mungkin makcik itu bertanya-tanya, kenapa kami selalu membeli satu potong, padahal kami berempat orang? Saat itulah kami sadar, bahwa selama ini makcik itu memang sengaja melebihkan lauk jika kami membeli di kedai makannya.
Ada sebuah kisah lagi dengan Encik penjual ikan laut. Sama seperti sebelumnya, jika kami membeli ikan di kedai-nya, dia akan selalu melebihkan ikan untuk kami. Ada banyak lagi sebetulnya “kelakuan” aneh pedagang-pedagang di sana, sehingga memberikan kesan tersendiri bagi kami. Ada beberapa penjual yang kami sampaikan keheranan kami, “kami hanya beli RM4 saja makcik”, kemudian dia menjawab, “tak pa, makcik kasi lebih, lebih-nya tu sedekah makcik”. Belum lagi kalau mobil kami mogok di jalan, ada saja kemudahan-kemudahan yang kami dapatkan atas kesusahan tersebut.
Bukan hanya itu saja, dalam hal belajar pun kami banyak mendapatkan kemudahan-kemudahan yang semuanya di luar akal sehat. Misalnya saya selalu mendapatkan support dari supervisor seperti dibayarkan publikasi dan konferensi, urusan-urusan administrasi yang dibantu diselesaikan oleh anak buah supervisor saya dan lain-lain. Bahkan, untuk menyerahkan proposal defense pun Prof saya yang mengantarkan langsung proposal itu ke fakultas. Terakhir, saya mendapatkan kemudahan berupa penguji sidang doktor yang tidak killer, baik itu penguji internal maupun penguji eksternal. Banyak lagi sebetulnya kemudahan-kemudahan yang diluar akal sehat yang kami dapatkan, sehingga kami selalu geleng-geleng kepala tidak percaya. Kemudahan-kemudahan itulah yang secara langsung atau tidak langsung membantu meringankan keuangan kami dan mensukseskan studi S3 saya.
Apa rahasianya? Rasanya tidak ada tips khusus. Memang, sewaktu pendidikan, unsur religius lebih meningkat, seperti melaksanakan ibadah wajib dan sunnah, berdoa, berusaha, tawakal dan selalu mohon doa restu dari orang tua dan mertua. Sebab dalam masa-masa pendidikan, pertolongan dari Yang Maha Kuasa yang paling penting. Oleh sebab itu, saya selalu ingatkan istri, untuk selalu membantu dan menolong orang lain. Mungkin inilah kiat khusus itu. Sebab, selama saya pendidikan di negeri orang tersebut, saya selalu berusaha menolong dan membantu orang, khususnya sesama pelajar di kampus saya tersebut. Misalnya, ketika ada mahasiswa baru dari Indonesia yang perlu bantuan untuk mendaftar, saya antar mereka ke sana kemari hingga urusan administrasi selesai.
Juga membantu mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang minta tolong uruskan pembuatan visa belajar, atau peserta-peserta konferensi yang datang dari Indonesia yang minta ditemankan tukar uang, cari penginapan, jemput antar ke bandara dll. Tidak jarang kadang saya harus mengambil paspor mahasiswa melalui pos, dan kemudian mengirimkannya kembali ke pemiliknya dan lain-lain. Terkadang terpakai juga uang sendiri untuk mengurus urusan rekan-rekan tersebut. Kadang uangnya terganti, kadang tidak. Semuanya saya buat mudah saja.
Bukan hanya mahasiswa asal Indonesia, pernah juga saya sedikit memberi bantuan kepada calon mahasiswa dari negara lain, seperti dari Pakistan yang nyasar di dalam kampus, atau mahasiswa asal Palestina yang tidak bisa bahasa Inggris (dan saya tidak bisa bahasa Arab, bayangkanlah bagaimana kami berkomunikasi) dan kehujanan di jalan serta saya antar ke rumah kos-nya, atau mahasiswa asal Nigeria yang minta tolong ini itu di perpustakaan kampus dan lain sebagainya. Saya ingat betul sebuah ceramah yang mengatakan bahwa jika kita memudahkan urusan orang lain, InsyaAllah Allah akan mudahkan pula urusan kita.
Saya camkan betul pesan tersebut. Bahkan ketika ada mahasiswa Indonesia yang memberi saya upah lelah karena telah membantu mengambilkan paspor mereka sekeluarga, saya tolak. Saya bilang, “simpan aja uangnya, saya ikhlas membantu, sekarang ini saya lebih membutuhkan pertolongan Allah untuk menghadapi sidang doktoral saya. Kalau saya ambil uangnya, takutnya nanti kemudahan ujian doktoral saya nanti diambil Allah”.
Begitulah kira-kira kejadian metafisika yang saya alami selama pendidikan. Saya betul-betul mengingat pesan seorang ustad dalam sebuah ceramah, kalau kita memudahkan urusan orang lain, InsyaAllah urusan kita akan dimudahkan oleh Allah. Jadi, kesimpulnya, S3 itu memang susah, tetapi libatkanlah Yang Maha Kuasa untuk menemani perjuangan kita tersebut.

0 Comments

Mari komentar dan berdiskusi...